NIKAH HAMIL



Para ulama dari keempat madzhab sepakat membolehkan perkawinan antara 2 insan yang berzina sebelumnya. Jadi tidak perlu diulangi akad pernikahannya setelah sang perempuan melahirkan anak. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran surat al-Nur ayat 3 : "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak mengawini melainkan laki-laki yang berzina atau yang musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman". Adapun masalah status anak, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak sah dinasabkan pada si bapak.
Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka anak ini tidak bisa langsung dinasabkan pada Bapaknya, kecuali jika si Bapak menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya.
Yang menjadi perdebatan antar ulama adalah jika seorang laki-laki baik-baik mengawini seorang perempuan yang telah melakukan zina. Sebagian ulama seperti Imam Hasan al-Basri melarang hal tersebut dengan argumentasi dalil di atas yang jelas-jelas mengharamkan seorang perempuan yang berzina untuk menikah dengan laki-laki mukmin. Sementara mayoritas ulama membolehkan perkawinan ini dengan berdasar pada ayat 24 surat al-Nisa`, "Dan dihalalkan bagi kamu sekalian selain yang demikian". (selain yang tersebut dalam daftar perempuan yang tidak boleh dinikahi, disini perempuan yang berzina tidak masuk kategori). Juga berdasar hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i dari Ibnu Abbas, diceritakan bahwa "Seorang laki-laki datang mengadu pada Nabi saw, "Isteriku tidak menjauhi tangan-tangan nakal (maksudnya berzina -red). Rasul pun menasehatinya, "Jauhilah dia!!" Laki-laki tadi menjawab, "Tapi saya kahwatir hatiku masih terikat padanya." Rasul menimpali, "(kalau begitu) pertahankan saja" (Nail al-Authar 6/145).
Mayoritas ulama ini juga memberikan catatan-catatan sbb:
1-            Madzhab Hanafy
Jika si perempuan yang berzina tersebut terbukti tidak hamil, maka akad pernikahannya sah. Dan jika si perempuan sudah hamil akad nikahnya sah juga, tapi si suami tidak boleh menggaulinya hingga ia melahirkan bayi hasil zinanya.
2-            Madzhab Maliky
Tidak boleh menikahi seorang perempuan yang berzina kecuali setelah berlalu 3 bulan (3 masa haid). Kurang dari itu, perkawinannya batal, baik perempuan itu sudah hamil atau belum.
3-            Madzhab Syafii
Membolehkan perkawinan tersebut dengan dalil hadis Aisyah di atas.
4-            Madzhab Hanbaly
Boleh mengawini perempuan yang berzina, dengan 2 syarat:
Setelah masa 'iddah selesai, yaitu sampai si perempuan melahirkan.
Si perempuan bertaubat dari perbuatan haram tersebut.

Tata cara perkawinannya tetap mengikuti prosedur biasa, yaitu dengan mendatangkan 2 saksi dan wali. Juga disunnahkan mengadakan walimah. Yang penting perkawinan tersebut telah memenuhi syarat-syarat pernikahan. Adapun nikah sirri, di mana wali, saksi dan kedua mempelai menyembunyikan perkawinan ini dari masyarakat walaupun keluarganya sendiri, menurut Imam Hanbal boleh-boleh saja meski makruh.
Apakah perzinahan yang mereka lakukan itu adalah 'aib? Iya, 'aibnya tetap saja 'aib. Tak perlu diperbincangan. Bahkan dosa memperbincangkannya dengan nada mencemoohkan. Apalagi menghina. Karena apapun bentuk cemoohan dan hinaan itu tindakan berdosa. Kalau memang perlu diketahui, dan ada maslahat di situ, juga tak ada maksud lain kecuali kebaikan, ya tak apa-apa diberitahukan saja.
Perlu disadari keluarganya, bukankah betapapun besarnya sebuah dosa, Allah swt. lebih luas pintu ampunannya? Perkawinan mereka sah. Tinggal yang terpenting mereka menyesali sedalam-dalamnya perbuatan dosanya itu, dan kini menjadi pasangan yang baik-baik. Sudah tak ada masalah. Anaknya yang hasil zina itu juga mempunyai hak yang sama dengan manusia biasa. Dia terlahir atas kehendak Allah, dalam keadaan fitri, tak punya dosa.

0 comments