Definisi :
Al-Aqa’id : Perkara dalam hati (keyakinan),
sehingga jiwa menjadi tentram karenanya tanpa adanya keraguan dan
kebimbangan.
Tingkatannya :
1. Ada dari
mereka yang mentalaqqi aqidah itu begitu saja dan meyakininya, karena adat
istiadat. Model pemahaman ini sangat rawan untuk diserang kebimbangannya,
terutama jika menemui berbagai macam syubhat.
2. Adapula yang sampai menganalisa dan berpikir, sehingga bertambah
keimanannya dan makin kuat imamnya.
3. Sementara adapula yang terus menerus menganalisa dan proses perenungan,
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk taat kepada Allah SWT, dan melaksanakan
perintah-Nya. Sehingga lantera hidayah memancar dalam kalbunya, sehingga dia
dapat memandang dengan cahaya bashirahnya. Maka sempurnalah Imanya.
Penghargaan Islam kepada Akal
Allah SWT sangat memuliakan akal, dengan menjadikannya sebagai
salah satu syarat mukallaf ( pemikul beban syariat). Islam menjadikannya
sebagai faktor adanya taklif (kewajiban menjalankan agama), dan memerintahkannya
untuk selalu meneliti, menganalisa, dan berfikir.
Firman Allah : ( Yunus:101, Qaaf: 6-11, Ali Imran: 190)
Allah sangat mencela jika umatnya tidak mau berfikir dan
menganalisa
( Yusuf:105, Hr. Ibnu Abid Dunya dalam kitap At Tafakkur)
Bagian-Bagian Aqidah Islamiah
1.
AL-Ilahiyat :
Bagian ini membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan
Allah swt, dari segi sifat-sifat, asma, dan perbuatan-Nya, ditambah dengan apa
yang harus diyakini seorang hamba perihal Tuhannya.
2.
An-Nubuwwat :
Bagian yang membahas segala sesuatu yang terkait dengan para
nabi, dari sisi sifat-sifat mereka, kema’shuman, tugas, dan urgensi kebutuhan
kepada risalah mereka. Yang termasuk dibagian ini adalah apa yang berhubungan
dengan para wali, mukjizat, karamah, serta kitap-kitap samawi.
3.
Ar-Ruhanniyah :
Bagian yang membahas apa saja yang berhubungan dengan alam
supranatural, seperti malaikat, jin, dan ruh.
4.
As-Sam’iyyaat :
Bagian yang membahas kehidupan yang berkaitan dengan alam
barzakh dan kehidupan akherat, kondisi dialam kubur, tanda-tanda hari kiamat,
hari kebangkitan, perhitungan, dan pembalasan.
MADZHAB ULAMA SALAF
DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADIST SIFAT
Menurut ulama salaf :
Kita beriman kepada ayat-ayat dan hadist-hadist sebagaimana
adanya, dan menyerahkan penjelasan tentang maksudnya hanya kepada Allah SWT.
Mereka menetapkan adanya “ tangan, mata, bersemayam, tertawa, takjub, dan
sebagainya dengan maksud yang tidak kita ketahui, maka kita serahkan kepada
Allah SWT cakupan dan kandungannya.
Rasulullah berkata:
Berfikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan berfikir
tentang dzat Allah, karena kalian tidak bakal menjangkaunya.
Pendapat Al-Iraqi,
Diriwayatkan dari Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad
lemah, diriwayatkan oleh Al-Asnahani dalam At Targhib wat Tarhib dengan sanad
yang lebih baik, juga diriwayatkan oleh Abu Syaikh, dengan kesepakatan mereka.
(Semoga Allah meridhoi mereka) – akan penafian adanya persamaan antara apa yang
ada pada Allah dan apa yang ada pada makhluknya.
Pendapat Qasim Al-Lalikai dalam Ushulus Sunnah dari
Muhammad bin Hassan, sahabat Abu Hanifah.
Para ahli fiqih, seluruhnya dari timur hingga barat, sepakat
tentang kepada keimanan kepada ayat-ayat al-Quran dan hadist nabi yang
diriwayatkan dari Rasululllah saw, tentang sifat Allah tanpa tafsir
(interprestasi), washf ( menyifati, dalam pengertian tidak pada tempatnya), dan
tasybih. Barang siapa yang melakukan interpretasi, maka telah keluar dari
jamaah.
Pendapat Harmalah bin Yahya,
Barang siapa menyifati sesuatu dzat Allah, seperti dalam
firman Allah. “ Berkatalah orang-orang Yahudi, tangan Allah terbelenggu, dengan
menyilangkan leher dan seperti firman Allah, dan Dia maha mendengar dan maha
melihat, dengan petunjuk telinga, mata atau sebagian dari kedua tangannya, maka
dia jatuh dari kesalahan, karena menyamakan Allah dengan dirinya.
Pendapat Al-Khalal, dalam buku As-Sunnah dari
Hambal.
Kita beriman kepadanya dan membenarkannya, tanpa bertanya
bagaimana maknanya, tanpa menolak sesuatu pun darinya.
Diriwayatkan dari Abu Bakar Al-Atsram, dan Abu Abdullah bin
Abu Salamah Al-Majisyun,
Apapun yang yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, dan yang
disifat secra lisan oleh Rasul-Nya, kita menyifati dengan itu juga.
Ketahuilah, bahwa keterlidungan dalam agama adalah jika engkau
berhenti (dalam pembahasan) pada sebuah titik dimana engkau dihentikan dan tidak
melampui suatu batas yang telah ditetapkan untukmu. Sedangkan apapun yangengkau
ingkari, tidak kau dapatkan dalam kitap Tuhanmu, dan tidak pula dalam hadits
nabimu, janganlah engkau membebani dirimu untuk mencari-cari kandungan maknanya
dengan pikiranmu dan kau sifati itu dengan lisanmu.
Jika engkau mencari-cari ma’rifat akan sesuatu yang tidak
Allah sebutkan untuk diri-Nya, seperti menolaknya, membesar-besarkan apa-apa
yang telah diingkari oleh para pengingkar, mwembesar-besarkan keterangan para
penyifat terhadap apa-apa yang Allah sifatkan atas diri-Nya, maka demi Allah,
telah terhormatlah kaum muslimin tanpanya. Yakni , mereka yang berma’rifat
kepada yang ma’ruf, yang dengan ma’rifatnya dia dikenal, merekalah yang
mengingkari kemungkaran. Yang dengankemungkarannya itulah ia diingkari.
QS. An-Nisa:115
Barang siapa menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami barkan ia berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam
Jahanam dan seburuk-buruk tempat kembali.
MADZHAB ULAMA KHALAF DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADIST
SIFAT
Ulama khalaf berkata “Kami menetapkan bahwa makna-makna kata
dalam ayat-ayat dan ahdits-hadits ini tidak dikehendaki lahirnya. Atas dasar
itu, boleh-boleh saja dita’wil dan tidak ada larangan.” Mereka pun menta’wil
“wajah” dengan dzat, “tangan” dengan kekuasaan, dan semisalnya, dengan tujuan
memalingkannya dari tasybih.
Contohnya, berkata Abu fajr bin Al jauzi Al hambali dalam
bukunya Daf’u Syu’batit Tasybih, Allah berfirman. “Dan tetaplah wajah
Tuhanmu.” (Ar Rahman:27) Berkata para ahli tafsir,”Yakni tetaplah Tuhanmu.”
Mereka juga berkata tentang firman Allah, “Mereka menginginkan wajah-Nya” (Al
An’am:52) sebagai menginginkan-Nya”. Berkata Adh Dhahhak dan Abu ubaidah tentang
ayat,”Segala sesuatu iu hancur kecuali wajah-Nya,” (Al Qashash:88) bahwa ia
berarti:”Segala sesuatu hancur, kecuali Dia”.
Dahulu, dua pandangan ini menjadi objek pembahasan dan
penyebab perselisihan yang sangat serius di kalangan apra ulama ilmu kalam.
Masing-masing pendukung menyodorkan dalil dan argumentasinya.
Sebearnya, jika engkau membahasnya dengan teliti, jarak
perbedaan antara dua pandangan ini tidaklah demikian leabrnya, jika saja
masing-masing pihak melepaskan sikapnya yang berlebihan, maka akan ada pada satu
eksimpulan: tafwidh (penyerahan) kepada Allah swt.
ANTARA SALAF DAN KHALAF
1. Kedua
kelompok ini sepakat dalam menyucikan Allah dari penyamaan dengan
mahluk-Nya.
2. Semua
sepakat bahwa kata-kata dalam Al Quran dan hadits tentang hak-hak Allah bukanlah
apa yang tersirat dilahirnya, sebagaimana dinisbatkan kepada mahluk.
3. Semua
pihak mengetahui bahwa lafal itu diletakkan untuk mengungkapkan sesuatu yang
membersit dalam benak hal-hal yang berhubungan dengan pemilik bahasa. Hakikat
lafal yang berhubungan dengan lafal dzat Allah termasuk dalam kategori
ini.
Jika demikian maka antara salaf dan khalaf sebenarnya
sepakat-secara prinsip- atas keharusan ta’wil. Perbedaan keduanya hanya bahwa
khalaf emnambahkan permbatasan makna yang dikandungd engan tetap menjaga
kesucian Allah dengan maksud menjaga aqidah orang awam dari keterjerumusan dalam
tasybih.
Tarjih Madzhab Salaf
Kami berkeyakinan bahwa pendapat salaf-yakni diam dan
menyerahkan kandungan kepada Allah- itu lebih utama, dengan memotong habis
ta’wil dan ta’thil (penafian). Bersamaan dengan itu , kami juga
meyakini bahwa ta’wil-ta’wil kaum khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis
kekafiran dan kefasikan atas mereka dan tidka pula menjadikan munculnya
pertikaian secara berlarut-larut antara mereka dan selainnya, dahulu maupun
sekarang.
Ringkasnya, ulama khalaf dan salaf telah sepakat bahwa
kandungan maksud itu bukan lahirnya lafal sebagaimana yang dikenal untuk
disandarkan kepada mahluk. Ia adalah ta’wil secara global. Mereka juga sepakat
bahwa semua bentuk ta’wil yang bertentangan dengan ushul syari’ah itu tidak
boleh.
Persoalan penting yang semestinya harus ditegakkan oleh kaum
muslimin adalah tauhidush shuhuf (penyatuan barisan) dan jam’ul kalimah
(menghimpun kata) sedapat yang kita lakukan.
0 comments