“Hmm…” aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan
tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang
terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.
Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama
sejak pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku
cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai
mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh
kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia
mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini
aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan
akan memperlakukanku seperti putri hari ini cuma memandangku.
Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur
tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday
to Me… Happy Birthday to Me…. Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah
mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah. Terbayang
bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya suami yang
mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan
blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku
menginap di sebuah resort di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang
harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang
penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu
bukanlah kewajibanku.
“De…. Ade kenapa?” tanya suamiku dengan nada bingung dan
khawatir.
Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata.
Matanya tepat menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan
warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara
bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.
“Selamat ulang tahun ya De’…” bisiknya lirih. “Sebenernya
aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini… tapi kamu capek banget ya?
Ucapnya takut-takut.
Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah
jambu itu. Dari mana dia belajar membungkus kado seperti ini? Batinku sedikit
terhibur. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air
yang menggenang.
“Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng… Nggak bagus ya
de?” ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.
Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan
ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku
tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap
entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.
“Jelek ya de’? Maaf ya de’… aku nggak bisa ngasih apa-apa….
Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de’…” desahnya.
Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk
tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan
air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih
dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi… mengapa sepicik itu pikiranku? Yang
menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku
pertanyakan.
“A’ lihat aku…,” pintaku padanya.
Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya.
Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan
dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran
kasih dan ketulusan itu.
“Tahu nggak… kamu ngasih aku banyaaaak banget,” bisikku di
antara isakan. “Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang
perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku
dede’,” senyumku sambil mengelus perutku. “Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang
sayang sama aku, kamu ngasih aku mama….” bisikku dalam cekat.
Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah
mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. “Kamu yang selalu nelfon aku setiap
jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon setiap siang,”
isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin kencang di
pelukanku.
Rabbana… mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang
nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama
suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi,
kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas. Harta yang
hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya. Mengapa
keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa
ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan?
Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah… Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana…
0 comments